Beberapa Catatan pada Lontar Yadnya Prakerti

1. Anugerah Betari Umadewi Untuk Kebahagiaan Anak Manusia.


Tiang sapa dumun Manggala Pasraman, para Bawati pinaka pangliman nabe, meton Jro Mangku sami. “Om swastyastu. Om awignam astu nama sidham. Dumogi sami pada rahayu”. Daripada bengong mikirin yang belum masti, kangin kauh tanpa tujuan, mengukur langit tanpa tiang.  Ngiring sareng diskusi kecil-kecilan. Yadnya Prakerti termasuk yang menarik untuk didiskusikan.

Seorang teman bule pernah menasehati saya.  “don’t trust your memory, so take notes”. Jangan percaya pada ingatan anda, karena seberapa pandainya anda, suatu saat dengan mudahnya akan lupa akan suatu hal. Ketika jalan-jalan di mall karena banyak yang dilihat, kurenan pedidi bise ensapin, he he he. Makanya dinasehatkan, buatlah catatan-catatan kecil setiap anda membaca atau mengalami suatu keadaan. Tulisan ini merupakan catatan pribadi saya dalam membaca beberapa tulisan, publikasi di internet atau beberapa media cetak. Mulanya untuk catatan pribadi sendiri sebagaimana saran teman bule tadi. Tak salah saya share kepada para pinandita dan sahabat lain untuk minta masukan guna memperkaya catatan ini dan memerkaya pemahaman tentang pelaksanaan yadnya yang tidak pernah lepas dari kehidupan kita.

Yadnya Prakerti termasuk salah satu lontar tatwa? yang mengajarkan tentang kebenaran dan hukum. Lontar ini merupakan anugerah Betari Uma kepada anak manusia. Pedoman dalam melaksanakan yadnya-yadnya di marcapada. Menjadi dasar dalam melaksanakan yadnya di Bali atau daerah lainnya di nusantara. Pada preambul lontar disebutkan bahwa Ini adalah Widisastra Tapini, ajaran Betari Uma Dewi yang bersthana di Pura Dalam. Pura Dalem sebagai sthana Gama Kerthi. “Iti Widisastra Tapini, warah Bhatari Umadewi, sira hyang ing pura dalem maka lingga gama kreti …   lwirnya: dewakreti, budakreti, manusakreti, jagatkreti ….”.

Dilahirkan sebagai anak manusia, sujatinya adalah untuk menjalankan Yadnya.  Mengabaikan apalagi meninggalkan yadnya adalah hidup yang sia-sia. Yadnya menurut lontar ini ada beberapa pula macamnya. Ada yang disebut  aswameda yadnya, siwa yadnya, resi yadnya, pitra yadnya, bhuta yadnya, manusa yadnya, dan yadnya-yadnya lainnya. Semua yadnya mempunyai keutamaan dan keampuhannya tersendiri. Melaksanakan setiap yadnya mendapatkan pahala yang utama bagi yang melaksanakannya.

Baik buruk  seorang anak manusia datang dan kembali kepada manusia itu sendiri. “…….apan makalewih ikang prakerti kamanusan, apan ring manusa ika papulanya kabeh”, Semua berawal dan berpulang kepadanya. Manusia sebagai sumber kebaikan, dan juga keburukan. Usaha manusialah yang dapat mengurangi dan meniadakanya.  “ …manusa juga makawak ikang samangkana, paraning jagat, ala-ayu, amreta, wisia, papa-swarga, sukha duka, ika pada nuksma ring manusa nimita manusa juga wenang aulah parakerti …..”

Dalam widhi sastra ini disampaikan beberapa ajaran tentang kebenaran, antara lain keutamaan sang brahmana pandita, kesucian banten/upakara, kelahiran catur warna, kesucian upacara, dasar melaksanakan yadnya, penjaga upacara, menghilangkan cuntaka pada saat upacara.

Banyak sanjungan atas keberadaan lontar yadnya prakerti ini namun ada pula yang mencela dan mengkritik isi ajaran yang terkandung di dalamnya. Ada pada catatan berikutnya.

Pertanyaan yang dapat muncul kepada diri kita masing-masing, seberapa banyak dari kita telah mengenal widhi sastra ini, sebera pabesar kita meyakini kebenaran ajaran ini, dan sudah seberapa jauh kita mempedomaninya dalam keseharian pelaksanaan yadnya. 



2. Keutamaan Brahmana Pandita

Pada keseharian atau sosial media sering kita saksikan adanya umat yang memberikan penghormatan yang berlebihan kepada seorang Pandita. Ada yang mencium tangan, ada yang menyembah sambil membungkuk, ada yang sinambi berjongkok ibrat menyembah Dewa. Bahkan ada yang mencium kaki. Banyak keritikan pada prilaku umat seperti itu. Mudah-mudahan ajaran widhi sastra ini dapat sekedar memberikan penjelasan atas fenomena ini. Mudah-mudahan diakhir uraian ini bisa menajwab relevansi fenomena tadi. Patut utawi nenten patut malih mewali maring persepsi jro sareng sami.

Lontar Yadnya Prakerti mengajarkan tentang keutamaan seorang Brahmana pandita. Sang Brahmana pandita Siwa-Buda melakukan peruatan. 

Pertama, Brahmana Pandita meruat dari segala kekotoran, kesalahan, dan neraka yang membuat kesengsaraan pada manusia.

Kedua, Sang Brahmana pandita sepatutnya disembah oleh manusia di jagad. “ …sira juga sayoga sinembah dening loka”.   Beliau merupakan wujud Betara di dunia yang merupakan lingganya tribuana. “…..anggeh bhataraning jagat apan sang brahmana pandita juga maka lingganin tribhuwana”.

Ketiga, Brahmana Pandita mengetahui jalan mati dan hidup di dunia dan menetralisir semua keburukan di dunia. “Sang Pandita juga wruh ring dadalan, pati lawan urip, mwang ri wetuning ala ayuning ulah nikang jagat ….  sang Pandita juga magawe rahayu landuh prawertining jagatraya”.

Keempat, Sang Pandita yang kuat melaksanakan prilaku ke-Brahmacaryan juga sebagai Guru Jagat Raya. Ia yang mengokohkan Sang Iagama, yang mengajarkan ajaran-ajaran Brahma tentang kebenaran kepada semua orang. Ajarannya merupakan suatu kebenaran. Sang Pandita dapat menciptakan penderitaan juga kedamaian di dunia dan sesudah kematian.  Ajarannya tiada lain untuk kerahayuan jagatraya.  “ …samangkana paribawa sang Brahmana pandita teguh ananda ka Brahmacarya, nimita ayuning jagatraya …”. 

Kelima, Sang Brahmana Pandita adalah wujud Tuhan di dunia,. … sang Brahmana pandita wruh ring ka brahmacarya sira juga umawak manira ring jana loka …”.   Ia juga sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur. “…. apan sang Brahmana pandita, makawak ikang sinangguh utpeti, stiti praline……”. 

Keenam, Sang Brahmana pandita yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan segala bentuk yadnya di dunia. “ … sang brahmana pandita juga wenang mutusaken ikang sarwa yajna-yajna ring paraloka …“  Yadnya itu pun beragam bentuk dan pelaksanaannya. “ …. ngaran angayoni, ngaran angajengi swaraja karya, yajna-yajna, kirti-kirti, punya-punya, dana-dana, tapa-tapa, yasa-yasa, brata-brata, ri salwiring ulah parakreti.” 

Melihat uraian di atas, dapat dimengerti bahwa betapa berat tugas dan peran yang diberikan kepada seorang Brahmana Pandita. Pertanyan yang muncul dibenak kita apakah para Brahmana Pandita yang ada sekarang sudah memenuhi kreteria sebagaimana yang diuraikan di atas. Terserah kepada masing-masing untuk memberikan penilaian. 



3. Banten Agar Disucikan oleh Brahmana Pandita

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Sang Brahmana pandita yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan segala bentuk yadnya di dunia. “ … sang brahmana pandita juga wenang mutusaken ikang sarwa yajna-yajna ring paraloka …“  Yadnya itu pun beragam bentuk dan pelaksanaannya. “ …. ngaran angayoni, ngaran angajengi swaraja karya, yajna-yajna, kirti-kirti, punya-punya, dana-dana, tapa-tapa, yasa-yasa, brata-brata, ri salwiring ulah parakreti.” 

Apabila tidak secara demikian, tidak diselesaikan oleh brahmana pandita, maka yadnya-yadnya tersebut belumlah putus atau selesai. Para dewata tidak berwenang menerima persembahan itu. Para bhuta kala dan kerabatnya juga ingin menyantap suguhan itu. Mereka datang dan merasuk kedalam diri manusia. Manusia menjadi takabur, para bhuta kala menghalang-halangi manusia yang akan melaksanakan yadnya kepada para betara dan para dewa. “ … pareng   ikang angaling-alingi ulat nikang wang bakti ring Bhatara mwang ring sarwa Dewa,  .”

Sabda Sang Brahmana pandita boleh diikuti, ibaratnya sabda Tuhan. Sabda itu bersumber dari ajaran sastra, tutur, tatwa,  “…  saksat sabdaning Widi wetun ikang ujar saka ri brahmana pandita, …..”  
Janganlah tidak mengikuti nasehat sastra yang diajarkan Brahmana Pandita. “… aja sira tan mituhu ri lingin sastra, tan tinuta ring ujar sang brahmana pandita”.  

Bebanten agar disirati tirta brahmana pandita. , “aja sira ababanten tan diniksan de sang brahmana pandita, aja tan sinirati tirta saka ri sang brahmana pandita, apan sira sang brahmana pandita kewalya putusing sarwa yajna, sarwa puja”. 



Dalam perkembangannya ada delegasi kepada pinandita.


4. Kelahiran Catur Warna



Ajaran lainnya pada Lontar Yadnya Prakerti adalah kelahiran catur warna. Brahmana, ksatria, wesya, dan sudra. Brahma melahirkan catur warna untuk menegakkan Sanghyang Iagama. “ … ika ta sang catur warna maka pikukuh sanghyang igama,…” Sang brahmana sebagai kepala sanghyang agama, “… sang brahmana ulu sanghyang igama…”.  Ksatria sebagai bahu sanghyang iagama, “…sang ksatriya sira bau sanghyang igama”.  Wesya sebagai perut sanghyang iagama, “…sang wesya sira garba sanghyang igama…”, dan Sudra sebagai kaki sanghyang iagama, “…sudra sira suku sanghyang igama“. 

Dari yoga beliau lahir dua brahmanarsi, brahmana siwa dan budha. Mereka sebagai mata sang iagama di dunia. Brahmana siwa sebagai mata kanan, “…sang brahmana siwa sira caksu tengen…”, sedangkan brahmana budha sebagai mata kiri sangyang iagama, “…sang brahmana buda sira caksu kiwa”. 
Demikian pula dari yoga sang brahma lahir dua ksatria, “Kunang sang ksatriya saroro wijilnya nguni saking yoga sanghyang brahma, yang besar bernama ksatria surya wangsa  yang lahir dari bahu kanan,”… kang panuha di arani ksatira suryawangsa, metu saka ri bau tengen…”; yang kecil, ksatria soma wangsa,  lahir dari bahu kiri beliau “… kang ari satriya soma wangsa, metu saka ri bau kiwa sanghyang brahma”,. Mereka sebagai pengatur sanghyang iagama. “ …ya ta sira maka wirburja sanghyang igama…”.

Kemudian lahir wesya dari pusar. Mereka ada tiga. si Tan Kawur, si Tan Koncor,  si Tan kober. Mereka sebagai badan utama sanghyang iagama. “Wesya trini juga wijilnira nguni, saka ri nabi sanghyang brahma,  …    ya ta sira katrini pinaka utamangga sanghyang igama …”. 

Lalu dari sandiyoga sang Brahma  dari kaki sang brahma lahir wangsa sudra, sebagai saptapetala dunia. “…nimita saptapatala di arena, ya ta sira nggeh suku sanghyang igama..”  Mereka tujuh jumlahnya. Ki Bandesa, Ki Pasek, Ki Gaduh, Ki Dangka, Ki Kubayan, Ki Ngukuhin, dan Ki Salain. Sebagai kaki sanghyang iagama. “ 

Banyak keberatan dan kritikan atas ajaran ini. Beberapa kalangan bahkan mengusulkan agar ajaran tentang catur warna ini dihapus karena menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Menurut pendapat mereka ajaran ini bertentangan dengan Weda. Mari kita simak pada catatan berikutnya. Silahkan para pembaca memberikan pandangan masing-masing. 

5. Kesucian Upakara


Setiap upacara swayadnya, swarajakarya dan yang lainnya jika upakaranya belum diperciki tirta Brahmana pandita maka belumlah suci banten upacara itu. “… yan tan siniratan tirta saka ri sang brahmasidarsi tan ilang letuhing upakaraning yadnya …”.  Belum hilang keletuhan upakara itu. Letuh cemar upacara itu. Tak hendak para dewa menerima persembahan demikian. Betara Surya sebagai saksi upacara menjadi sedih. Beliau memanggil Betara Kala dan prajuritnya untuk menyantap persembahan. Orang yang mengantarkan upacara (sane muput utawi nganteb) dan yang melaksanakan yadnya (sang adruwe karya) mendapat celaka. Lahir penderitaan bahkan umur pendek. “ … wastu rusak pada cendek tuwuhniya ..” , Mereka dikutuk oleh para dewa. “…samangkana marmaning kawastu de bhatara wang mangkana ….” Akan mendapatkan kesengsaraan dalam hidupnya. “…tan sah anemu papa sangsara, keneng pamidi ri ulahnyan mangkana …”.

Ketika upakara telah mendapatkan siratan tirta brahmana pandita, telah disucikan oleh yang memuja, besar kecil upacara itu, diterima oleh para dewa  dan betara. , “ …katanggapa dening prawatek dewata mwang ri padaning Bhatara ..”. Tujuan upacara tercapai. Mereka yang melaksanakan yadnya, dan yang mengantarkan upacara, menemukan kebahagian. Demikian pula para leluhur disempurnakan dan menemukan kepatutan. , “…lewih sang pitara ingentas, sama amnggihaken patut …”, Para dewata pun menjadi senang dibuatnya.

Pertanyaan yang muncul bagaimana ketika upakara itu diperciki hanya oleh pinanditha (bawati lan jro mangku). Dalam pelaksanaannya ada kesepakatan mengenai pendelegasian kewenangan kepada para pinandita. 


6. Yadnya Hendaknya Dilaksanakan Dengan Kesucian


Adalagi ajaran Hyang Pramesti kepada semua orang. Yang patut dipatuhi dan diikuti. Agama tirtha yang suci.  Dalam melaksanakan setiap upacaya yadnya hendaknya dilaksanakan dengan kesucian.  Itu sebagai dasar melaksanakan yadnya, puja prakerti, dan segala bentuk pemujaan. Hendaknya berperilaku suci, pikiran yang suci, tutur kata yang suci dan sopan. “ ayuwa tan pangambek suci, dinuluri idepta rahayu, sabda menak, ika juga maka dasaring swayadnya”. 



Jangan menyesalkan, tidak ihkhlas, dengan anggaran biaya yang dikeluarkan. aja angangen prabeya. Jika tidak demikian, akan banyak bahaya dan kesusahan dihadapi. “ …apan kweh mahabhaya pamancananya, agung pakwehnira …“. Dirasuki oleh para butha kala. Setiap upacara yang dilaksanakan berlandaskan ajaran agama, ajaran dharma, dan kesusilaan, semua halangan, penyakit, bhuta-kala  dapat diatasi dengan sempurna.  Segala bentuk butha-kala dikurung oleh betara dharma. “ …ikang sarwa bhuta-kala sasab marana, tan wani ya lumincak mara maring manusapada, pada sinempen kinurung de Bhatara Dharma. “ Tidak dibiarkan liar merasuki manusia. Bumi menjadi damai sejahtera. 



7. Penjaga Upacara


Lontar Yadnya Prakerti menuturkan ajaran tentang panca mahabhuta, penjaga setiap upacara. Ia lima bersaudara penunggu bumi. Di timur, selatan, barat, utara, dan di tengah, mempunyai pasukan yang sangat banyak. Di timur berwarna putih, sang bhuta pila-pilu namanya. Ia menjaga jiwa yang melaksanakan yadnya. “…Buta Pila-pilu ring Purwa mangraksa Jiwaning wang adrewe karya…”. 
Di selatan berwarna bang/merah, sang bhuta rudira dinamakan, menjaga dapur. Menjaga bermacam makanan dan olahan, supaya hemat. Juga menjaga makanan dari anasir negatif. “…Bhuta Rudira ring prantenan mangraksa sarwa reratengan …”. 
Di barat berwarna kuning, dinamai sang bhuta kakawah.  Menjaga sesajen  atau upakara dari anasir negatif, pengaruh negatif bhuta-kala,. “…  ring genah metanding, mangraksa tetandingan”.   Yang di utara berwarna hitam, sang bhuta ari-ari. Menjaga berbagi jenis barang sang adrue yadnya berupa emas, uang, bahan makanan dll.  “ … mangraksa saraja Drewe …”. Yang teralkir, di tengah, sang bhuta kamajaya. Menjaga para tamu yang datang. Sang Buta Kamajaya, amanca warna rupanira, Im namah swaranya, sira wenang kon mangraksa satekan ikang tamuy …”.  

Lima bersaudara panca mahabhuta ini patut dibuatkan pelinggih - daksina masing-masing sesuai arah mata angin, diaturi sesajen sepantasnya. Dimohon agar bersaudara panca mahabhuta itu bersedia menjaga ketentraman pelaksanaan upacara yadnya. Kalau sudah memulai memotong hewan, agar dihaturi saji bebakaran mentah. Ri sampun masaning karya atatampahan elingakena wehan bebakaran mentah. 

Pada puncak acara dihaturkan rayunan, karangan, iwak olah-olahan, suci, peras, ajuman, segehan agung dan sebagainya. Kalau upacaranya relatif kecil, boleh juga kecil persembahannya. Peras daksina kecil,  dan segehan menurut warna arah mata angin. Sebutkan nama para bhuta tersebut dan aksara sucinya. Sang bang tang ang ing. Sang di timur dan seterusnya. 



Adalagi aturan kepada Sang bhuta ulusinga, dengan balanya yang banyak watak sregala, sebagai penetral bhutakala. Bantennya nasi beralaskan tempurung kelapa, jejatah dan sebagainya. Ini mesti diingat dalam setiap pelaksanaan upacara yadnya.



8. Persembahan Sanghyang Panca Rsi - Pamurnaning Cuntaka


Yadnya Prakerti mengajarkan pula persembahan pada saat melaksanakan karya ayu. Persembahan kepada Sanghyang Panca Rsi, sebagai penghilang cuntaka pedewasaan dan mereka yang melaksanakan yadnya. “Iki panglukatanya Sanghyang Panca Rsi, pangilang sarwa cuntaka mwang letuhing dina, ……”   Membersihkan berbagai kekotoran, keletehan, sebel. 

Dilaksanakan dengan memasang sanggah tutwan 5 buah sesuai arah mata angin. Di pagar sebelah timur, di dapur, di pintu keluar halaman, di dekat sumur, dan di tengah halaman rumah tempat upacara. Masing-masing dibuatkan persembahan kepada masing-masing: Bhagawan Kosika, Bhagawan Garga, Bhagawan Metri, Bhagawan Kesika, dan Bhagawan Wrehatnala. Banten dimasing-masing sanggah daksina, suci, sodan, peras ajuman, katipat kelanan, iwaknya sesuai warna. Sarana penganteban  yang diperlukan.


“ …sadana toya anyar samsam beras kuning, sekar warna lima, lalang lembaran 5 katih, dstnya. ”. Mantra “Om sarwwa belikam pertiwi ……”.    Tirtanya diperciki ke halaman tempat upacara dan sarana upacara. 



9. Pemarisuda Dewasa


Setiap pelaksanaan yadnya dilaksanakan pada dewasa atau hari baik. Pada setiap hari/ waktu mempunyai pengaruh baik dan buruk pada manusia. Menurut lontar Yadnya Prakerti, setiap sasih ada pengaruh baik dan buruknya. Pengarih buruk sasih ini perlu dinetralisir dengan suatu upakara dan upacara.

Jika yadnya dilaksanakan pada sasih kepertama dan kelima, tiada halangannya. Selalu mendapatkan kerahayuan. Pada sasih kedua, ada halangan oleh Betara Gana. Pada sasih ketiga ada halangan Berara Hyang. Pada sasih kapat, halangan datang dari Hyang Guru Pitara. Pada sasih keenam terhalang oleh Butha Dengen. Sasih ketujuh oleh dewata, sasih kedelapan oleh Sang Kala Ngadang, kesembilan dan kesepuluh oleh Hyang Sinuhun Kidul,  sasih jyesta dan sada oleh Ibu Pertiwi.   


Oleh karenanya sebelum dimulainya suatu upacara yadnya perlu dilaksanakan pemarisudhanya. , “…kala dewasaning anyambut gawe pangruhunya, wenang yeki maka pamrayascitanya..” melaksanakan caru yang serba mentah, tadah pawitra, bubur pirata, dan prayascita pada tempat-tempat yang telah ditentukan. 



10. Tanda Alam


Ketika melaksanakan upacara yadnya 
Ketika melaksanakan upacara yadnya swarajakarya terjadi tanda-tanda alam. Hujan badai dan kegelapan, angin rebut, disertai kilat guntur menderu. Perlu memohon astiti bhakti kehadapan Sang Bhuta Yaksaraja. Ada tiga saudara beliau. sang Buta Pritiwi, Sang Buta Tapah, Sang Buta Akasa. Mereka yang mesti dipuja dan dimohonkan anugerahnya supaya yadnya diselamatkan. “… ika ta wenang astitiakena pinintasrayan, ri karaksan ikang swarajakarya …”.  Dirikan sanggah tutuan tumpang tiga. Haturkan persembahan seperti yang telah ditentukan. Daksina, suci, peras, ajuman dan seterusnya. Olahan daging berbeda untuk masing-masing rong. Misalnya untuk dirong paling bawah. “ Haturkan kepada Sang Buta Pritiwi.” 

Ditempat itu dapat pula dilakukan untuk memohon datangnya hujan atau sebaliknya. Dengan aturan olahan yang berbeda tentunya. “Yan arangaken udan, yan angundang udan, ngundang angin, riyut papeteng, wenang irika aksamakena, kewalya gantyakena warnaning ajuman …”. 
Terlebih dahulu agar  memohon anugerah Betara Siwa Dharma, Siwa Nirmala, dan Betari Saraswati supaya terhindar dari kutukan. 



11. Swadharma Tukang Banten - Sang Atapeni


Orang yang menukangin? Banten janganlah orang sudra. “Sira sang anukangin banten, ayuwa wong sudra jadma angawaki tukang banten….” Mereka tidaklah berwenang mengambil pekerjaan ini.. Ia akan mendapatkan kutukan Betari. Mereka yang masih kotor, belum didiksa, belum disucikan, tidak lah boleh. . Kang durung wang sudiksa, tan wenang apanya wang kari rumaketing camahning panca wimala …” Menjadi marah Betara dibersihka trirta sang pandita. Dikutuk menjadi buhuta kala. Kena penyakit. Sampai menemukan kematian. Kutukan ini terus berlanjut tak ada hentinya.
Namun apabila dilakukan dengan benar, akan mendatangkan kerahayuan  bagi semua. “ … tekeng jejahitanya anadi dewa, apupul dadi widi rahayu, karananing widi widana ngaranya ikang babanten”. Semua jejahitannya menjadi dewa bersatu  mendatangkan kebaikanlah banten itu.

Banten yang tidak dibuat oleh sang wiku patni, sebelum dipersembahkan, banten itu agar mendapatkan pratista oleh Pandita.sebagi pemelaspasnya.  Jalankan apa yang sudah diajarkan oleh sastra,. …”ayuwa langgana sira amarugu, ila estu palanya”.

Sebelum memulai membuat banten, stanakan dulu dewanya tukang. Betari Uma sebagai widinya tukang. Berwujud Sanghyang Tapeni. Beliau diiringi oleh prawatek apsari. Dewa Pradnya, Dewa Kedep, Dewa Wastu. Sebagi gurunya tukang banten. Ngastiti dulu kepada beliau sebelum memulai pembuatan banten. Aturi sesajen sepatutnya. “ … daksina panuntun mwang peras, canang wangi-wangi, soda ajuman katipat kelanan, canang raka, rayunan muncuk kuskusan, iwak sarwa suci, sari arta sakotama..” Mohon kertawara nugraha beliau sebagai Dewa Tapini.


Juga ring sor, kepada para pengiringnya wujud bhuta.  Ni Buta Kencak, Ni Buta Swadnya, Ni Buta Pancad sebagai penggarap karya..  “Labanya, sega telung pangkonan iwak sakawenang, ikang nampi karangan, mwang bebakaran…”: Mohon mereka membantu  membuat banten, mengreka prawatak betara dan seterusnya.



12. Kesucian Memulai Karya

Memulai kerja hendaknya berlandaskan kesucian juga. Jangan bertutur kata kasar. Berkata sombong dan tak pantas. Mendapat kutuk sang Betari.  Hendaknya selalu bertutur kata halus, berperilaku rahayu, terpuji. Ketika itu sedang mengreka watak dewata. Widhi Widana namanya. Mengreka berbagai lingga para dewata. “ …apan ri sedengta akarya babanten ya ika kalanta angajum rupa warna mwang pawangganing sarwa Dewata_Dewati, Bhatara mwang Bhatari”. Berbagai bentuk tetandingan banten itu merupakan lingga dewata, jadi saksi, jadi caya, menjadi bukti ketulusan astiti bakti kepada para dewata.   

Kepada para pengancang sane sareng mejejahitan metetanding hendaknya dalam keadaan bersih dan suci. Sampunang durung mesiram. Tidak pantas mecelana pendek mesinglet doen. Becikne mekamben mesenteng. Mebusana alit utawi madya mangde becik. Sampunang sambilang ngerumpi nuturang kejelekan pisage. Sampunang sambilang mececiplak. Karena saat itu kita sedang mengreka rupa warna linggih para betara-betarai, dewa-dewi. Pikiran dan kegiatan ahendaknya difokuskan kepada beliau.

Disamping itu janganlah menghapus mengurang-ngurangi  tetandingan banten dari yang telah ditentukan. “Ayuwa sira sang tukang angangapus-apusi tatandingan , amunjuk lungsur, angurang-ngurangi”.  Juga janganlah melebih-lebihi tetandingan. “…ayuwa  angalebih-lebihi”.  Itu sama saja dengan mengurangi atau menambah wujud para dewata. Akan buruk akibatnya. “ …tan manuta ri warah mami Bhatari Tapeni …”. Sangat besar akibatnya, dihukum Betara Yama dan balanya. Numitis dengan wujud yang aneh. Itulah kutukannya.  “…wetu salah rupa, wetu mala katuna lebih ring sarira, mangkana temahanya”. Supanca




1 comment:

Tiga Kerangka Agama?

Om Swastyastu Nasehat bagi kita yang senang mempelajari agama. Agama bukan hanya sloka-sloka atau ayat-ayat saja. Ada yang juga...